Jumat, 22 Oktober 2010
SETAHUN MENDIKNAS Mendiknas, Berbenahlah....
Kamis, 21 Oktober 2010 | 20:11 WIB
PRIYOMBODO/KOMPAS IMAGES
Selama satu tahun memimpin jajarannya, kinerja Mendiknas Mohammad Nuh dinilai masih jauh dari harapan, terutama untuk membawa perbaikan-perbaikan dalam pendidikan nasional.
TERKAIT:
* Guru pun Menilai Merah Rapor Mendiknas
* Dana BOS, Kelir Merah Rapor Mendiknas
* Belum Lulus, Rapor Mendiknas Merah!
JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa elemen masyarakat, guru, dan pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan menilai, rapor Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh masih berkelir merah. Masih ada waktu tiga tahun untuk Mendiknas berbenah diri melakukan perbaikan-perbaikan.
Jika diibaratkan dengan rujukan nilai ujian nasional atau UN, Kemdiknas mendapat nilai 2,5. jadi belum lulus.
-- Ade Irawan
Elemen-elemen tersebut antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, serta Kelompok Kajian Studi Pendagogik Transformatif. Mereka sengaja berkumpul untuk mengkritisi satu tahun kinerja Mendiknas Mohammad Nuh melalui diskusi "Satu Tahun Menteri Pendidikan Nasional: Rapor Merah Bagi Menteri Pendidikan", Kamis (21/10/2010), di Jakarta.
Disimpulkan dalam diskusi tersebut, bahwa program satu tahun Mendiknas dan jajarannya di Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) tidak relevan dengan kebutuhan dan permasalahan-permasalahan dalam pendidikan nasional. Program satu tahun Kemdiknas banyak mengabaikan faktor penting dalam pendidikan seperti guru dan peserta didik.
Selain itu, program ataupun kebijakan Kemdiknas lebih banyak menimbulkan kontroversi, seperti tetap mempertahankan UN yang jelas-jelas oleh Mahkamah Agung (MA) telah diputuskan untuk ditiadakan. Program RSBI juga dinilai kian menimbulkan kastanisasi dunia pendidikan dan menyebabkan insan-insan pendidikan di dalamnya berlomba-lomba melakukan korupsi.
Dalam satu tahun memimpin jajarannya, kinerja Mendiknas dinilai masih jauh dari harapan. Harapan tersebut terutama untuk membawa perbaikan-perbaikan dalam pendidikan nasional.
Ade Irawan dari ICW mengatakan, Mohammad Nuh bukan sosok "baru kemarin" menjabat menteri. Sebelumnya, Nuh pernah menjabat Menteri Komunikasi dan Informasi.
"Kami menilai, rapor Mendiknas dan kementriannya masih merah. Jika diibaratkan dengan rujukan nilai ujian nasional atau UN, Kemdiknas mendapat nilai 2,5. jadi belum lulus," imbuh Ade.
Namun demikian, kata Ade, masih ada tiga tahun ke depan periode kerja Mendiknas. Selama itulah, kata dia, kinerja Mendiknas dan jajarannya diharapkan bisa lebih baik.
"Semoga ke depan semua siswa bisa memiliki hak pendidikan untuk sekolah gratis dan memiliki pendidikan berkualitas," ujarnya
sumber :www.kompas.com
Rabu, 06 Oktober 2010
Terlalu Kritis, 12 Guru Dimutasi Massal
SMAN RSBI 1 Purwakarta
Terlalu Kritis, 12 Guru Dimutasi Massal
Selasa, 5 Oktober 2010 | 16:07 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 12 guru SMAN Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) 1 Purwakarta, Jawa Barat, mengalami mutasi massal secara sewenang-wenang karena mengkritisi uang dana sumbangan pendidikan (DSP) yang diberikan oleh para orang tua murid.
DSP itu sebesar Rp 1.207.100.000, namun kepala sekolah mengaku kepada kami bahwa yang diterima hanya Rp 800 juta saja. Itu terjadi bulan Juli 2009.
-- Guru SMAN 1 Purwakarta
"Menurut data real yang diterima, DSP itu sebesar Rp 1.207.100.000, namun kepala sekolah mengaku kepada kami bahwa yang diterima hanya Rp 800 juta saja. Itu terjadi pada bulan Juli 2009. Kemudian, dari situ mulailah ada pergunjingan," ungkap salah satu guru RSBI SMAN 1 Purwakarta yang mengalami mutasi tersebut kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (5/10/2010).
Dia menceritakan, para guru membutuhkan transparasi DSP, karena setiap tahunnya di awal bulan setiap guru harus membuat program untuk siswanya. Selain transparansi, para guru juga mempertanyakan kepada kepala sekolah mengenai masa jabatan yang terlalu lama, karena sudah 6 tahun tidak diganti.
"Namun mengenai setiap masalah yang ada selalu diselesaikan dengan intimidasi dan ancaman. Karena ketika kami mempertanyakan itu semua, pada 23 Agusutus 2010 kami dipanggil oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD)," ujar guru tersebut.
Anehnya, lanjut dia, pemanggilan terhadap mereka dilakukan pada jam 8 malam. Dia mengaku, para guru kemudian ditanyakan yang aneh-aneh dan mereasa seperti para terdakwa. Kemudian, lanjut dia, pada 27 Agustus 2010, keluarlah Surat Perintah Kerja (SPK) mengenai mutasi para guru yang kritis tersebut.
"Kami sekarang tetap pergi ke SMAN RSBI 1 Purwakarta, tetapi kami tidak mengajar," lanjutnya.
"Namun, yang membuat kami bingung adalah kepala dinas setempat tidak mengetahui mengenai mutasi ini. Jika tidak mengetahui ini, berarti mutasi yang diberikan kepada kami tidak normal dan cacat hukum, untuk itu kami mempertanyakannya," ujarnya.
sumber :www.kompas.com
Senin, 20 September 2010
Dibuka, Beasiswa Pascasarjana ke Swiss!
KOMPAS.com - Pemerintah Swiss melalui Federal Commission for Scholarships for Foreign Students (FCS) menawarkan beasiswa untuk tahun akademik 2011/12. Beasiswa ini ditawarkan untuk para mahasiswa pascasarjana (postgraduate) yang ingin melakukan riset atau meraih gelar master di salah satu perguruan tinggi di Swiss.
Program beasiswa ini berlangsung selama 9 (sembilan) bulan atau 1 tahun akademik. Namun, dalam kondisi tertentu beasiswa dapat diperpanjang maksimal hingga tahun ajaran ke-2 sesuai dengan pertimbangan FCS dan perguruan tinggi yang bersangkutan.
Adapun beberapa program studi atau pendidikan yang tidak termasuk dalam tawaran beasiswa antara lain adalah Ilmu Kesenian, Pendidikan S-1, Pendidikan Sekolah Perhotelan, Pertukaran pelajar/mahasiswa, Part-time studies, On-the-job studies, atau Studi jarak jauh (correspondence course).
Bagi yang tertarik dengan program ini perlu mengetahui, bahwa jumlah beasiswa senilai CHF 1.920 per bulan (untuk biaya hidup). Harap diingat, bahwa tidak semua program pascasarjana dan perguruan tinggi di Swiss membebaskan penerima beasiswa dari biaya perkuliahan karena beasiswa ini hanya mencakup biaya hidup di Swiss.
Untuk itulah, setiap pelamar sangat perlu mengklarifikasi kepastian pembebasan uang kuliah untuk program studi yang dipilih dengan perguruan tinggi yang bersangkutan. Sementara biaya perjalanan dan asuransi penerima beasiswa dari Indonesia harus menanggung sendiri biaya perjalanan ke Swiss tersebut.
Pendaftaran beasiswa ini sudah dibuka dan pelamar harus sudah mengembalikan formulir pendaftaran yang dilampiri lengkap dengan dokumen-dokumen pendukung paling lambat pada 31 Oktober 2010 mendatang ke Kedutaan Besar Swiss (Bagian Kebudayaan) di Jl. H.R. Rasuna Said Kav. X3/2, Jakarta 12950.
Mengenai semua syarat, formulir atau skema beasiswa bisa dilihat langsung di situs http://www.eda.admin.ch atau di http://www.eda.admin.ch/eda/en/home. Kontak telepon bisa juga melalui Kedutaan Besar Swiss dengan Melinda Djohansjah di nomor +6221 525 6061/Ext.319.
sumber : www.kompas.com
Rabu, 18 Agustus 2010
100 Resep Kolak Favorit
Kolak, kudapan manis berkuah santan, termasuk kudapan favorit di dapur Indonesia. Rasa manis harum dari kuah kolak dengan aroma daun bumbu, sungguh menawan. Isi kolak yang variatif, menggoda selera. Warna kuah kolak pun bisa dipilih yang putih atau merah kecokelatan. Kolak pun bisa disajikan hangat atau dingin bersama es batu. Buku ini menawarkan 100 selera kolak favorit sepanjang masa yang tak terlupakan. Tidak hanya resep kolak yang ditampilkan dalam buku ini tetapi juga resep bubur manis dan wedang yaitu minuman manis yang panas.
Di antaranya, Kolak Khas Aceh, berisi putu mayang, disiram kolak pisang kepok dan nangka, dipadu serabi; Kolak Sagu Ambon, bubur sagu Ambon disiram kolak pisang beraroma daun pandan; Kolak Ketan Durian berisi ketan urap, disiram kolak pisang dan saus santan durian; Bubur Cha-cha Kombinasi, sejenis kolak gaya Singapura beraroma daun pandan dan daun jeruk, dengan warna kuah kolak putih, berisi kacang hijau, ubi merah, biji mutiara, talas; Wedang Cemue, rebusan gula merah beraroma rempah dengan isi kolang-kaling, kelapa muda, kacang tanah goreng, roti tawar iris dadu.
sumber :www.gramedia.com
Kamis, 29 Juli 2010
Variasi Makanan Balita
Memuat 43 variasi makanan balita, yang disusun dalam kelompok sarapan pagi, hidangan ikan, daging telur, tahu, tempe, sayuran, dan hidangan selingan. Dengan memiliki 2 buku tentang makanan balita, berarti anda telah memiliki lebih dari 40 variasi resep makanan sehat untuk balita anda. Buku ini juga mengatasi masalah makan pada anak seperti: anak yang susah makan, anak tidak suka makan sayur, tidak suka minum susu, dan lain-lain.
ISBN : 979-655-594-8; 21000594
Kategori:
* Buku Masak/Menu Anak
* n/a
sumber :www.gramedia.com
Senin, 07 Juni 2010
Kidpreneur: Ajari Anak Berwirausaha Sejak Dini
Akan ke manakah anak-anak setelah lulus sekolah menengah atas? Melanjutkan ke bangku pendidikan pergurun tinggi? Itu bukan alternatif yang murah, apalagi saat ini. Selain itu, bukan rahasia bahwa banyak sarjana yang menganggur, kesulitan mendapat pekerjaan.
Ada alternatif yang bisa dipilih, yaitu mengarahkan anak ke dunia kewirausahaan. Hal itu bisa dilakukan sejak dini di keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Bahkan, sebaiknya memang diajarkan langsung oleh orangtua dengan mengajak anak mengolah kemampuan diri dan melibatkan mereka dalam kegiatan bisnis.
Buku ini mengupas cara melatih anak menjadi wirausaha sesuai dengan minat dan usia mereka. Dilengkapi dengan 15 Kiat Bisnis bagi Anak, 7 Formula Bisnis untuk Anak, dan Rahasia Sukses Wirausaha Tulen, buku ini akan membantu orangtua akan membekali anak dengan ilmu kewirausahaan sejak dini.
Ayo, ajari anak berwirausaha dan bantu mereka menciptakan masa depan yang leboh cerah.
ISBN : 978-979-22-5742-7; 20801100027
Kategori:
* Nonfiksi/Manajemen, Bisnis, dan Investasi
sumber :www.gramedia.com
Sabtu, 08 Mei 2010
Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China
Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru
Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China
M. Ikshan Tanggok, dkk.
"Hubungan antara Nusantara dan mainland China sudah terjalin sejak masa pra-Islam. Hubungan ini tentunya meninggalkan berbagai jejak historis penting di seluruh Indonesia dewasa ini. Buku yang ditulis oleh para ahli tentang sejarah, agama, dan kebudayaan China ini memberikan pengetahuan pen-ting kepada kita tentang bagaimana hubungan antara China dan Indonesia itu terjadi di masa lalu dan perlu ditingkatkan lagi di masa yang akan datang."
---Prof. Dr. Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
"...Bahwa Indonesia adalah Negara ber penduduk muslim terbesar di dunia sudah umum diketahui orang. Tapi, mungkin tidak banyak orang menyadari bahwa Indonesia adalah juga "China Town" terbesar di dunia kalau boleh disebut begitu. Jalan Sutra yang dianggap sebagai "legacy" atau warisan meninggalkan jejak yang sangat kuat. Kelenteng Sam Pokong di Set marang yang pernah disinggahi Laksamana Cheng Ho seorang musllim dari Tiongkok menjadi bukti dan saksi hidup kedekatan dua peradaban besar ini. Yang datang dan berdoa di situ ya orang muslim, ya orang Tionghoa, keduanya orang Indonesia. Saya sangat yakin bahwa mayoritas orang Indonesia yang muslim dan orang Indonesia keturunan Tionghoa sangat Nasionalis. Karena itu, keduanya harus bergandeng tangan untuk memperkokoh dan memajukan negeri ini."
---Hermawan Kartajaya, Founder and CEO, MarkPlus Inc. President, World Marketing Association
"Buku ini mengupas Jalan Sutra sebagai saksi sejarah perkembangan peradaban masa lalu, ke-mudian men coba menghidupkan kembali, be rin-karnasi melahirkan Jalan Sutra baru, merintis ke arah peradaban yang akan datang."
---Y.W. Junardy, President, Asia Marketing Federation
ISBN : 978-979-22-5700-7; 20701100007
Kategori:
* Nonfiksi / Sosial, Politik dan Budaya / Politik
Sumber :www.gramedia.com
Sabtu, 03 April 2010
250 wisdom
Penulis : Komaruddin Hidayat
Jumlah Halaman : 350 hal
Penerbit : Hikmah
Harga : Rp 79000.00
ISBN : 978-602-8767-01-4
Melalui serangkaian kata-kata bijak, penulis buku bestseller ini mengajak kita untuk memilih jalan kebahagiaan melalui hidup yang bermakna. Memburu harta dan jabatan tidak terlarang. Justru, kita harus mengejarnya. Namun, jadikan harta dan jabatan itu untuk membuat hidup kita bermakna. Caranya? Anda bisa temukan dengan menelusuri satu demi satu ungkapan-ungkapan bijak cendikiawan muslim yang dikenal sebagai penulis dan pembicara dengan tutur kata yang indah sekaligus dalam ini.
Rabu, 10 Maret 2010
Penerbit Sigma Obral Saymil Al Quran
JAKARTA.Perhelatan Islamic Book Fair (IBF) 2010 menjadi ajang para penerbit untuk memanjakan pembeli. Seperti dilakukan oleh Sigma yang menerbitkan Saymil Al Quran. Menempati stand disebelah panggung utama, Sigma pada waktu-waktu tertentu memberikan obral buku. Persisnya memberikan potongan harga hingga mencapai 40 persen bagi pengunjung.
Seperti terjadi pada Selasa (9/3/2010) sehabis berlangsungnya talkshow ‘Membangun Generasi Islami, Cerdas dan Mandiri Perspektif Pendidikan’. Saat baru saja para pengunjung hendak berdiri dari duduk di kursi, tenaga penjual Sigma meniupkan peluit yang menarik perhatian. Tak hanya itu, mereka langsung meneriakan obral untuk semua buku yang dipamerkan Sigma.
Startegi para tenaga penjual Sigma tampaknya tidak sia-sia. Hanya dalam waktu beberapa saat, stand Sigma dipenuhi para pengunjung. Mereka berebut memilih buku yang hendak dibeli untuk memanfaatkan kesempatan mendapatkan diskon. Apalagi, waktu berlakunya obral memang dibatasi hanya dalam beberapa menit saja.
“Strategi ini terbukti menaikkan penjualan mas. Jadi lumayan efektif juga,” ujar seorang tenaga penjual stand Sigma. Pihak Sigma tampaknya memang sengaja menggunakan strategi memberikan obral ini sebagai kejutan untuk menarik pengunjung. Sehingga waktu obral tidak dijadwalkan terlebih dahulu, namun dilakukan secara tiba-tiba.
Bagi anda yang tertarik untuk bisa membeli buku murah, silahkan kunjungi IBF 2010 di Istora, Senayan, Jakarta. Obral maupun diskon masih akan terus diberikan oleh para penerbit.***
sumber :www.islamic-bookfair.com
Al-Qur’an Kitab Cinta
Dengan pemikiran yang logis dan bahasa yang menyentuh, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy mengajak kita menggali Al-Qur’an untuk menemukan rahasia mendapatkan cinta Ilahi. Tidak mudah memang, tetapi ulama yang ceramahnya mampu menyebabkan isak tangis ribuan jamaah ini meyakinkan kita bahwa cinta-Nya bisa digapai dengan kekuatan nalar dan hati sekaligus. Inilah buku penyejuk dahaga bagi yang mendamba cinta dan kasih sayang-Nya.
Penulis : Dr. Said Ramadhan Al-Buthy
Jumlah Halaman : 226
Penerbit : Hikmah
Harga : Rp 37000.00
sumber :komunitas cinta buku on face book
Senin, 08 Maret 2010
Pengunjung IBF 2010 Mulai Membludak
JAKARTA— Pengunjung Islamic Book Fair (IBF) ke-9 tahun 2010 hari ketiga (Ahad, 7 Maret 2010) mulai membludak. “Menjelang Zhuhur, jumlah pengunjung sudah makin banyak dan sudah mulai terasa sesak,” kata Ketua Panitia IBF 2010, Iwan Setiawan, Ahad siang. Ia menjelaskan, pada hari pembukaan pameran, Jumat (5/3/2010) siang, jumlah pengunjung IBF yang digelar di Istora Senayan Jakarta, mencapai sekitar 10 ribu orang. Pada hari kedua, Sabtu (6/3/2010), jumlah pengunjung mencapai sekitar 20 ribu orang. Semula panitia memperkirakan jumlah pengunjung pada hari ketiga ini akan mencapai sekitar 30 ribu orang. “Namun, kalau keadaannya seperti ini dan semakin ramai, saya kira jumlah pengunjung hari ini bisa mencapai 50-60 ribu orang,” ujarnya. Pada hari ketiga ini, IBF 2010 diisi dengan acara-acara yang sangat menarik. Pagi, pukul 10-12 dialog interaktif dengan Anis Matta. Siang ini, pukul 13.00-15.00 ada siaran langsung TVOne dari Panggung Utama IBF 2010, bertajuk “Damai Indonesiaku”. Acara tersebut menampilkan narasumber Dr Hidayat Nur Wahid dan Ustadz Jeffry Al-Buchori.***
www.islamic-bookfair.com
www.islamic-bookfair.com
Resensi Soe Hok Gie
Judul: Soe Hok-Gie..Sekali Lagi
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Soe Hok Gie adalah ikon gerakan mahasiswa. Ia telah menjadi inspirasi bagi banyak aktivis kampus di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Bahkan catatan hariannya yang dibukukan dalam Catatan Seorang Demonstran, menjadi semacam bacaan wajib bagi peminat ataupun simpatisan dunia pergerakan.
Dari buku tersebut dapat dilihat bagaimana Hok-Gie merespon realitas. Jejak kegelisahan, semangat, perenungan, sikap maupun idealismenya dapat dilihat dari buku tersebut. Buku tersebut seolah menjadi representasi dunia batin adik kandung budayawan Arief Budiman itu.
Namun, sisi human interest dari Hok-Gie memang sulit untuk dilacak. Rasanya belum ada literatur yang mengungkap sisi ini. Padahal hal ini boleh jadi sisi yang "misterius" dari Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara ia bergaul dengan karib serta koleganya, bagaimana cara ia menangani permasalahan di lapangan, ataupun bagaimana hubungannya dengan beberapa teman dekat wanitanya.
Kehadiran buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi, tampaknya mulai membuka sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap meskipun tidak bisa secara utuh mengurai kompelksitasnya.
Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan pencinta alam yang tergabung dalam Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Indonesia, budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.
Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru pada pertengahan bulan Desember 1969. Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya pada hari-hari saat-saat terakhir bersama Hok-Gie.
Tulisan ini diletakan di bagian awal karena memang kisah inilah yang paling tragis dari Hok-Gie. Di bagian ini dikisahkan saat-saat terakhir Rudy Badil bersama Hok-Gie. Dikisahkan bagaimana ia sempat melihat Hok-Gie yang masih bertahan di puncak Semeru sementara pendaki lain sudah turun karena cuaca saat itu dianggap mulai tidak bersahabat.
Namun tidak lama setelah itu Rudy Badil diberitahu oleh pendaki lain bahwa Hok-Gie dan Idhan Lubis mengalami kecelakaan. Belakangan diketahui kematiannya itu disebabkan oleh gas beracun yang keluar dari kawah Semeru, gunung berapi yang masih aktif.
Dikisahkan pula bagaimana sulitnya proses evakuasi kedua jenazah tersebut. Hal ini disebabkan sulitnya menjangkau lokasi karena medan yang cukup berat. Namun, dengan bantuan penduduk setempat, kedua jenazah dapat diturunkan.
Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-Gie adalah sosok idealis yang seakan tidak pernah takut kepada siapa pun selama ia yakin dengan sikapnya. Bahkan ia siap berhadapan dengan penguasa jika memang penguasa tersebut berbuat sesuatu yang dianggapnya mencederai rasa keadilan.
Tidak heran jika kritik mapun protes keras acap kali ia sampaikan kepada penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Hasilnya, Hok-Gie memang dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa. Termasuk ketika Hok-Gie terang-terangan melawan Presiden Soekarno yang dianggap memberi ruang terlalu berlebihan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menariknya, meskipun Hok-Gie adalah seorang anti-komunis--ditandai dengan dengan terjun langsungnya ia ke arena perlawanan terhadap komunisme--tetapi dia tetap protes ketika terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI tanpa melalui proses di pengadilan.
Stanley Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia yang menyumbangkan tulisan dalam buku ini, mengutip tulisan Hok-Gie untuk memperlihatkan sikap Hok-Gie, terhadap masalah pembantaian tersebut. Hok-Gie dalam dalam majalah Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat menulis, ketika pembunuhan dilangsungkan, para tawanan sering minta untuk segera dibunuh saja. Alasannya, mereka telah mengetahui bagaimana hidup mereka akan berakhir. Hal itu dilakukan karena mereka takut menghadapi siksaan atau cara pembunuhan mengerikan yang dilakukan oleh manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan (Hal. 349).
Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan maupun kemunafikan. Ia tidak segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini sikapnya hanya hitam-putih, tidak ada wilayah abu-abu. Dalam pandangannya, setiap kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang memiliki otoritas.
Keiritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan agama. Dalam hal ini Hok-Gie tidak main mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku mengalami "krisis kepercayan", menolak pendapat dari otoritas pemuka agama yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie gagasan ini terlalu berlebihan. Baginya agama haruslah membawa pembebasan, dan bukan menjadi alat masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Di balik itu semua ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri, entah itu dalam pergaulan, komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.
Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie dikenal akrab dan terbuka dengan sejumlah kawan. Pembicaraan mereka pun sangat khas anak muda, termasuk subjek atau pembicaraan yang dianggap "menyerempet bawah perut"--begitu istilah Kartini Syahrir dalam buku ini.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku inilah adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tidak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran.
Jelaslah, buku ini bukan sebuah usaha untuk mengultuskan sosok Hok-Gie. Sebaliknya buku ini mencoba untuk memperlihatkan sosok Hok-Gie apa adanya, dari sudut pandang orang-orang yang mengagumi dan mencintainya.
Buku ini sebenarnya dapat lebih kaya jika surat-surat pribadi Hok-Gie hasil korespondensinya dengan sejumlah orang dapat dimuat. Bukankah ia disebut-sebut berkorespondesi dengan Ben Anderson, Daniel S Lev, David R Looker, Syharir, sampai Onghokham. Tentu saja hal ini perlu usaha yang lebih rumit untuk mengumpulkan kembali surat-surat yang dimaksud.
Namun demikian, kehadiran Soe Hok-Gie...Sekali Lagi sedikitnya dapat memberikan sebuah penggalan lain kisah seorang Hok-Gie. Kita pun diingatkan kembali bukan hanya kepada keberaniannya, tetapi juga persoalan bangsa Indonesia yang membutuhkan politisi serta pemimpin yang peduli, peka dan siap bekerja untuk kemajuan bangsanya tanpa pamrih.***
sumber :www.ulas-buku.blogspot.com
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Soe Hok Gie adalah ikon gerakan mahasiswa. Ia telah menjadi inspirasi bagi banyak aktivis kampus di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Bahkan catatan hariannya yang dibukukan dalam Catatan Seorang Demonstran, menjadi semacam bacaan wajib bagi peminat ataupun simpatisan dunia pergerakan.
Dari buku tersebut dapat dilihat bagaimana Hok-Gie merespon realitas. Jejak kegelisahan, semangat, perenungan, sikap maupun idealismenya dapat dilihat dari buku tersebut. Buku tersebut seolah menjadi representasi dunia batin adik kandung budayawan Arief Budiman itu.
Namun, sisi human interest dari Hok-Gie memang sulit untuk dilacak. Rasanya belum ada literatur yang mengungkap sisi ini. Padahal hal ini boleh jadi sisi yang "misterius" dari Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara ia bergaul dengan karib serta koleganya, bagaimana cara ia menangani permasalahan di lapangan, ataupun bagaimana hubungannya dengan beberapa teman dekat wanitanya.
Kehadiran buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi, tampaknya mulai membuka sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap meskipun tidak bisa secara utuh mengurai kompelksitasnya.
Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan pencinta alam yang tergabung dalam Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Indonesia, budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.
Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru pada pertengahan bulan Desember 1969. Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya pada hari-hari saat-saat terakhir bersama Hok-Gie.
Tulisan ini diletakan di bagian awal karena memang kisah inilah yang paling tragis dari Hok-Gie. Di bagian ini dikisahkan saat-saat terakhir Rudy Badil bersama Hok-Gie. Dikisahkan bagaimana ia sempat melihat Hok-Gie yang masih bertahan di puncak Semeru sementara pendaki lain sudah turun karena cuaca saat itu dianggap mulai tidak bersahabat.
Namun tidak lama setelah itu Rudy Badil diberitahu oleh pendaki lain bahwa Hok-Gie dan Idhan Lubis mengalami kecelakaan. Belakangan diketahui kematiannya itu disebabkan oleh gas beracun yang keluar dari kawah Semeru, gunung berapi yang masih aktif.
Dikisahkan pula bagaimana sulitnya proses evakuasi kedua jenazah tersebut. Hal ini disebabkan sulitnya menjangkau lokasi karena medan yang cukup berat. Namun, dengan bantuan penduduk setempat, kedua jenazah dapat diturunkan.
Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-Gie adalah sosok idealis yang seakan tidak pernah takut kepada siapa pun selama ia yakin dengan sikapnya. Bahkan ia siap berhadapan dengan penguasa jika memang penguasa tersebut berbuat sesuatu yang dianggapnya mencederai rasa keadilan.
Tidak heran jika kritik mapun protes keras acap kali ia sampaikan kepada penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Hasilnya, Hok-Gie memang dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa. Termasuk ketika Hok-Gie terang-terangan melawan Presiden Soekarno yang dianggap memberi ruang terlalu berlebihan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menariknya, meskipun Hok-Gie adalah seorang anti-komunis--ditandai dengan dengan terjun langsungnya ia ke arena perlawanan terhadap komunisme--tetapi dia tetap protes ketika terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI tanpa melalui proses di pengadilan.
Stanley Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia yang menyumbangkan tulisan dalam buku ini, mengutip tulisan Hok-Gie untuk memperlihatkan sikap Hok-Gie, terhadap masalah pembantaian tersebut. Hok-Gie dalam dalam majalah Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat menulis, ketika pembunuhan dilangsungkan, para tawanan sering minta untuk segera dibunuh saja. Alasannya, mereka telah mengetahui bagaimana hidup mereka akan berakhir. Hal itu dilakukan karena mereka takut menghadapi siksaan atau cara pembunuhan mengerikan yang dilakukan oleh manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan (Hal. 349).
Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan maupun kemunafikan. Ia tidak segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini sikapnya hanya hitam-putih, tidak ada wilayah abu-abu. Dalam pandangannya, setiap kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang memiliki otoritas.
Keiritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan agama. Dalam hal ini Hok-Gie tidak main mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku mengalami "krisis kepercayan", menolak pendapat dari otoritas pemuka agama yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie gagasan ini terlalu berlebihan. Baginya agama haruslah membawa pembebasan, dan bukan menjadi alat masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Di balik itu semua ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri, entah itu dalam pergaulan, komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.
Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie dikenal akrab dan terbuka dengan sejumlah kawan. Pembicaraan mereka pun sangat khas anak muda, termasuk subjek atau pembicaraan yang dianggap "menyerempet bawah perut"--begitu istilah Kartini Syahrir dalam buku ini.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku inilah adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tidak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran.
Jelaslah, buku ini bukan sebuah usaha untuk mengultuskan sosok Hok-Gie. Sebaliknya buku ini mencoba untuk memperlihatkan sosok Hok-Gie apa adanya, dari sudut pandang orang-orang yang mengagumi dan mencintainya.
Buku ini sebenarnya dapat lebih kaya jika surat-surat pribadi Hok-Gie hasil korespondensinya dengan sejumlah orang dapat dimuat. Bukankah ia disebut-sebut berkorespondesi dengan Ben Anderson, Daniel S Lev, David R Looker, Syharir, sampai Onghokham. Tentu saja hal ini perlu usaha yang lebih rumit untuk mengumpulkan kembali surat-surat yang dimaksud.
Namun demikian, kehadiran Soe Hok-Gie...Sekali Lagi sedikitnya dapat memberikan sebuah penggalan lain kisah seorang Hok-Gie. Kita pun diingatkan kembali bukan hanya kepada keberaniannya, tetapi juga persoalan bangsa Indonesia yang membutuhkan politisi serta pemimpin yang peduli, peka dan siap bekerja untuk kemajuan bangsanya tanpa pamrih.***
sumber :www.ulas-buku.blogspot.com
Resensi Buku "Sudesi"
Judul : Sudesi (Sukes dengan Satu Istri)
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 456 halaman
Tahun : Januari 2010
Lembaga pernikahan yang sering dianggap sakral ternyata mengalami pereduksian makna dalam masyarakat kontemporer. Pernikahan yang sarat dengan nilai-nilai kesetiaan, pengabdian dan serta pengorbanan, kemudian ditaburi perselingkuhan, kebohongan serta berbagai kepalsuan.
Persoalannya kemudian, masihkah ada orang yang dapat sanggup mempertahankan pernikahan yang serba suci itu manakala lingkungan sekitarnya seolah-olah membenarkan terjadinya berbagai bentuk pengkhianatan. Lebih ekstrim, apakah lembaga perkawinan masih layak dipertahankan sebagai wadah penyatuan dua individu, baik secara formal ataupun agama
Novel Sudesi (Sukses dengan Suatu Istri) tampaknya ingin memberikan sebuah lapangan perenungan mengenai persoalan-persoalan tersebut. Lewat pengalaman dan sepak terjang tokoh-tokohnya, Sudesi yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, memperlihatkan kecenderungan ini.
Sebut saja tokoh Ibu Sukmono, istri Jati Sukmono penggagas Sudesi, yang kemudian berselingkuh dengan seorang fotografer ternama ketika suaminya tengah meringkuk di dalam penjara. Perselingkuhan yang diawali ketika Ibu Sukmono meminta untuk dipotret dalam pose tanpa busana itu, ternyata dapat terjadi begitu saja tanpa diakhiri rasa penyesalan maupun penghakiman yang berujung kepada akibat-akibat yang merepresentasikan “hukuman Tuhan” terhadap mereka.
Tentu saja novel ini tidak ingin menunjukkan bahwa perselingkuhan merupakan sesuatu yang pantas ditiru ataupun sesuatu yang bersifat relatif. Novel ini juga tidak berusaha mengonstruksi sebuah pemikiran bahwa perselingkuhan adalah sesuatu yang salah dalam pandangan relijiusitas. Sebaliknya, pembaca dibiarkan untuk menikmati alur cerita sebagaimana adanya, dan membuat penilaian tersendiri atasnya.
Beberapa kisah tokoh lainnya dalam novel ini juga menunjukkan bahwa pernikahan telah telah menjadi sesuatu yang absurd, misalnya saja kisah Bambang, seorang wartawan yang mendapat kesempatan untuk menuliskan biografi Ismi Patria, istri anak bungsu Tunjung Suanta, sekaligus istri dari Indrawan, seorang pengusaha kaya yang sanggup memberikan apa saja.
Tidak terjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan Ismi, yang akrab dipanggil dengan Ibu Ais, dengan Indrawan. Namun Indrawan menyetujui saja ketika Ibu Ais ingin membuat sebuah biografi dan menunjuk Bambang, saeorang wartawan, untuk menuliskan biografi itu.
Maka, dengan segala fasilitas yang mewah yang disiapkan oleh Bu Ais sendiri, Bambang berkesempatan masuk ke dalam kehidupan Ibu Ais. Ia dapat mengikuti segala aktivitas Ibu Ais, mengamati perilakunya, melakukan wawancara, dan bahkan jatuh cinta kepadanya.
Dari sinilah dimulai sebuah perselingkuhan dengan perjanjian di atas kertas antara Ibu Ais dan Bambang. Sebelum memulai perselingkuhan, Bambang diminta untuk memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk syarat kesehatan yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter. Bagi Bambang ini adalah sesuatu yang aneh, tidak masuk akal dan terlalu rumit untuk sebuah perselingkuhan. Anehnya lagi, perselingkuhan ini dilakukan dengan persetujuan suami Ibu Ais.
Semua kisah dalam novel ini memperlihatkan bahwa penikahan adalah sesuatu yang pelik, dan tidak gampang dilakukan dalam dunia kontemporer. Pernikahan yang dijalani dapat saja menjadi lembaga yang sakral, namun pengkhianatan terhadapnya sangat terbuka lebar. Tinggal bagaimana seorang individu memahami secara benar hakikat pernikahan, dan konsisten dengan janjinya untuk selalu setia pada psangannya.***
sumber :www.ulas-buku.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)