Rabu, 10 Maret 2010

Penerbit Sigma Obral Saymil Al Quran


JAKARTA.Perhelatan Islamic Book Fair (IBF) 2010 menjadi ajang para penerbit untuk memanjakan pembeli. Seperti dilakukan oleh Sigma yang menerbitkan Saymil Al Quran. Menempati stand disebelah panggung utama, Sigma pada waktu-waktu tertentu memberikan obral buku. Persisnya memberikan potongan harga hingga mencapai 40 persen bagi pengunjung.

Seperti terjadi pada Selasa (9/3/2010) sehabis berlangsungnya talkshow ‘Membangun Generasi Islami, Cerdas dan Mandiri Perspektif Pendidikan’. Saat baru saja para pengunjung hendak berdiri dari duduk di kursi, tenaga penjual Sigma meniupkan peluit yang menarik perhatian. Tak hanya itu, mereka langsung meneriakan obral untuk semua buku yang dipamerkan Sigma.

Startegi para tenaga penjual Sigma tampaknya tidak sia-sia. Hanya dalam waktu beberapa saat, stand Sigma dipenuhi para pengunjung. Mereka berebut memilih buku yang hendak dibeli untuk memanfaatkan kesempatan mendapatkan diskon. Apalagi, waktu berlakunya obral memang dibatasi hanya dalam beberapa menit saja.

“Strategi ini terbukti menaikkan penjualan mas. Jadi lumayan efektif juga,” ujar seorang tenaga penjual stand Sigma. Pihak Sigma tampaknya memang sengaja menggunakan strategi memberikan obral ini sebagai kejutan untuk menarik pengunjung. Sehingga waktu obral tidak dijadwalkan terlebih dahulu, namun dilakukan secara tiba-tiba.

Bagi anda yang tertarik untuk bisa membeli buku murah, silahkan kunjungi IBF 2010 di Istora, Senayan, Jakarta. Obral maupun diskon masih akan terus diberikan oleh para penerbit.***

sumber :www.islamic-bookfair.com

Al-Qur’an Kitab Cinta


Dengan pemikiran yang logis dan bahasa yang menyentuh, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy mengajak kita menggali Al-Qur’an untuk menemukan rahasia mendapatkan cinta Ilahi. Tidak mudah memang, tetapi ulama yang ceramahnya mampu menyebabkan isak tangis ribuan jamaah ini meyakinkan kita bahwa cinta-Nya bisa digapai dengan kekuatan nalar dan hati sekaligus. Inilah buku penyejuk dahaga bagi yang mendamba cinta dan kasih sayang-Nya.

Penulis : Dr. Said Ramadhan Al-Buthy
Jumlah Halaman : 226
Penerbit : Hikmah
Harga : Rp 37000.00

sumber :komunitas cinta buku on face book

Senin, 08 Maret 2010

Pengunjung IBF 2010 Mulai Membludak

JAKARTA— Pengunjung Islamic Book Fair (IBF) ke-9 tahun 2010 hari ketiga (Ahad, 7 Maret 2010) mulai membludak. “Menjelang Zhuhur, jumlah pengunjung sudah makin banyak dan sudah mulai terasa sesak,” kata Ketua Panitia IBF 2010, Iwan Setiawan, Ahad siang. Ia menjelaskan, pada hari pembukaan pameran, Jumat (5/3/2010) siang, jumlah pengunjung IBF yang digelar di Istora Senayan Jakarta, mencapai sekitar 10 ribu orang. Pada hari kedua, Sabtu (6/3/2010), jumlah pengunjung mencapai sekitar 20 ribu orang. Semula panitia memperkirakan jumlah pengunjung pada hari ketiga ini akan mencapai sekitar 30 ribu orang. “Namun, kalau keadaannya seperti ini dan semakin ramai, saya kira jumlah pengunjung hari ini bisa mencapai 50-60 ribu orang,” ujarnya. Pada hari ketiga ini, IBF 2010 diisi dengan acara-acara yang sangat menarik. Pagi, pukul 10-12 dialog interaktif dengan Anis Matta. Siang ini, pukul 13.00-15.00 ada siaran langsung TVOne dari Panggung Utama IBF 2010, bertajuk “Damai Indonesiaku”. Acara tersebut menampilkan narasumber Dr Hidayat Nur Wahid dan Ustadz Jeffry Al-Buchori.***
www.islamic-bookfair.com

Resensi Soe Hok Gie

Judul: Soe Hok-Gie..Sekali Lagi
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009


Soe Hok Gie adalah ikon gerakan mahasiswa. Ia telah menjadi inspirasi bagi banyak aktivis kampus di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Bahkan catatan hariannya yang dibukukan dalam Catatan Seorang Demonstran, menjadi semacam bacaan wajib bagi peminat ataupun simpatisan dunia pergerakan.

Dari buku tersebut dapat dilihat bagaimana Hok-Gie merespon realitas. Jejak kegelisahan, semangat, perenungan, sikap maupun idealismenya dapat dilihat dari buku tersebut. Buku tersebut seolah menjadi representasi dunia batin adik kandung budayawan Arief Budiman itu.
Namun, sisi human interest dari Hok-Gie memang sulit untuk dilacak. Rasanya belum ada literatur yang mengungkap sisi ini. Padahal hal ini boleh jadi sisi yang "misterius" dari Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara ia bergaul dengan karib serta koleganya, bagaimana cara ia menangani permasalahan di lapangan, ataupun bagaimana hubungannya dengan beberapa teman dekat wanitanya.

Kehadiran buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi, tampaknya mulai membuka sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap meskipun tidak bisa secara utuh mengurai kompelksitasnya.

Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan pencinta alam yang tergabung dalam Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Indonesia, budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.

Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru pada pertengahan bulan Desember 1969. Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya pada hari-hari saat-saat terakhir bersama Hok-Gie.
Tulisan ini diletakan di bagian awal karena memang kisah inilah yang paling tragis dari Hok-Gie. Di bagian ini dikisahkan saat-saat terakhir Rudy Badil bersama Hok-Gie. Dikisahkan bagaimana ia sempat melihat Hok-Gie yang masih bertahan di puncak Semeru sementara pendaki lain sudah turun karena cuaca saat itu dianggap mulai tidak bersahabat.

Namun tidak lama setelah itu Rudy Badil diberitahu oleh pendaki lain bahwa Hok-Gie dan Idhan Lubis mengalami kecelakaan. Belakangan diketahui kematiannya itu disebabkan oleh gas beracun yang keluar dari kawah Semeru, gunung berapi yang masih aktif.

Dikisahkan pula bagaimana sulitnya proses evakuasi kedua jenazah tersebut. Hal ini disebabkan sulitnya menjangkau lokasi karena medan yang cukup berat. Namun, dengan bantuan penduduk setempat, kedua jenazah dapat diturunkan.

Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-Gie adalah sosok idealis yang seakan tidak pernah takut kepada siapa pun selama ia yakin dengan sikapnya. Bahkan ia siap berhadapan dengan penguasa jika memang penguasa tersebut berbuat sesuatu yang dianggapnya mencederai rasa keadilan.

Tidak heran jika kritik mapun protes keras acap kali ia sampaikan kepada penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Hasilnya, Hok-Gie memang dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa. Termasuk ketika Hok-Gie terang-terangan melawan Presiden Soekarno yang dianggap memberi ruang terlalu berlebihan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menariknya, meskipun Hok-Gie adalah seorang anti-komunis--ditandai dengan dengan terjun langsungnya ia ke arena perlawanan terhadap komunisme--tetapi dia tetap protes ketika terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI tanpa melalui proses di pengadilan.

Stanley Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia yang menyumbangkan tulisan dalam buku ini, mengutip tulisan Hok-Gie untuk memperlihatkan sikap Hok-Gie, terhadap masalah pembantaian tersebut. Hok-Gie dalam dalam majalah Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat menulis, ketika pembunuhan dilangsungkan, para tawanan sering minta untuk segera dibunuh saja. Alasannya, mereka telah mengetahui bagaimana hidup mereka akan berakhir. Hal itu dilakukan karena mereka takut menghadapi siksaan atau cara pembunuhan mengerikan yang dilakukan oleh manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan (Hal. 349).
Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan maupun kemunafikan. Ia tidak segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini sikapnya hanya hitam-putih, tidak ada wilayah abu-abu. Dalam pandangannya, setiap kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang memiliki otoritas.

Keiritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan agama. Dalam hal ini Hok-Gie tidak main mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku mengalami "krisis kepercayan", menolak pendapat dari otoritas pemuka agama yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie gagasan ini terlalu berlebihan. Baginya agama haruslah membawa pembebasan, dan bukan menjadi alat masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.

Di balik itu semua ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri, entah itu dalam pergaulan, komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.
Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie dikenal akrab dan terbuka dengan sejumlah kawan. Pembicaraan mereka pun sangat khas anak muda, termasuk subjek atau pembicaraan yang dianggap "menyerempet bawah perut"--begitu istilah Kartini Syahrir dalam buku ini.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku inilah adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tidak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran.

Jelaslah, buku ini bukan sebuah usaha untuk mengultuskan sosok Hok-Gie. Sebaliknya buku ini mencoba untuk memperlihatkan sosok Hok-Gie apa adanya, dari sudut pandang orang-orang yang mengagumi dan mencintainya.

Buku ini sebenarnya dapat lebih kaya jika surat-surat pribadi Hok-Gie hasil korespondensinya dengan sejumlah orang dapat dimuat. Bukankah ia disebut-sebut berkorespondesi dengan Ben Anderson, Daniel S Lev, David R Looker, Syharir, sampai Onghokham. Tentu saja hal ini perlu usaha yang lebih rumit untuk mengumpulkan kembali surat-surat yang dimaksud.

Namun demikian, kehadiran Soe Hok-Gie...Sekali Lagi sedikitnya dapat memberikan sebuah penggalan lain kisah seorang Hok-Gie. Kita pun diingatkan kembali bukan hanya kepada keberaniannya, tetapi juga persoalan bangsa Indonesia yang membutuhkan politisi serta pemimpin yang peduli, peka dan siap bekerja untuk kemajuan bangsanya tanpa pamrih.***

sumber :www.ulas-buku.blogspot.com

Resensi Buku "Sudesi"






Judul : Sudesi (Sukes dengan Satu Istri)
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 456 halaman
Tahun : Januari 2010


Lembaga pernikahan yang sering dianggap sakral ternyata mengalami pereduksian makna dalam masyarakat kontemporer. Pernikahan yang sarat dengan nilai-nilai kesetiaan, pengabdian dan serta pengorbanan, kemudian ditaburi perselingkuhan, kebohongan serta berbagai kepalsuan.

Persoalannya kemudian, masihkah ada orang yang dapat sanggup mempertahankan pernikahan yang serba suci itu manakala lingkungan sekitarnya seolah-olah membenarkan terjadinya berbagai bentuk pengkhianatan. Lebih ekstrim, apakah lembaga perkawinan masih layak dipertahankan sebagai wadah penyatuan dua individu, baik secara formal ataupun agama

Novel Sudesi (Sukses dengan Suatu Istri) tampaknya ingin memberikan sebuah lapangan perenungan mengenai persoalan-persoalan tersebut. Lewat pengalaman dan sepak terjang tokoh-tokohnya, Sudesi yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, memperlihatkan kecenderungan ini.

Sebut saja tokoh Ibu Sukmono, istri Jati Sukmono penggagas Sudesi, yang kemudian berselingkuh dengan seorang fotografer ternama ketika suaminya tengah meringkuk di dalam penjara. Perselingkuhan yang diawali ketika Ibu Sukmono meminta untuk dipotret dalam pose tanpa busana itu, ternyata dapat terjadi begitu saja tanpa diakhiri rasa penyesalan maupun penghakiman yang berujung kepada akibat-akibat yang merepresentasikan “hukuman Tuhan” terhadap mereka.

Tentu saja novel ini tidak ingin menunjukkan bahwa perselingkuhan merupakan sesuatu yang pantas ditiru ataupun sesuatu yang bersifat relatif. Novel ini juga tidak berusaha mengonstruksi sebuah pemikiran bahwa perselingkuhan adalah sesuatu yang salah dalam pandangan relijiusitas. Sebaliknya, pembaca dibiarkan untuk menikmati alur cerita sebagaimana adanya, dan membuat penilaian tersendiri atasnya.

Beberapa kisah tokoh lainnya dalam novel ini juga menunjukkan bahwa pernikahan telah telah menjadi sesuatu yang absurd, misalnya saja kisah Bambang, seorang wartawan yang mendapat kesempatan untuk menuliskan biografi Ismi Patria, istri anak bungsu Tunjung Suanta, sekaligus istri dari Indrawan, seorang pengusaha kaya yang sanggup memberikan apa saja.

Tidak terjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan Ismi, yang akrab dipanggil dengan Ibu Ais, dengan Indrawan. Namun Indrawan menyetujui saja ketika Ibu Ais ingin membuat sebuah biografi dan menunjuk Bambang, saeorang wartawan, untuk menuliskan biografi itu.

Maka, dengan segala fasilitas yang mewah yang disiapkan oleh Bu Ais sendiri, Bambang berkesempatan masuk ke dalam kehidupan Ibu Ais. Ia dapat mengikuti segala aktivitas Ibu Ais, mengamati perilakunya, melakukan wawancara, dan bahkan jatuh cinta kepadanya.

Dari sinilah dimulai sebuah perselingkuhan dengan perjanjian di atas kertas antara Ibu Ais dan Bambang. Sebelum memulai perselingkuhan, Bambang diminta untuk memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk syarat kesehatan yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter. Bagi Bambang ini adalah sesuatu yang aneh, tidak masuk akal dan terlalu rumit untuk sebuah perselingkuhan. Anehnya lagi, perselingkuhan ini dilakukan dengan persetujuan suami Ibu Ais.

Semua kisah dalam novel ini memperlihatkan bahwa penikahan adalah sesuatu yang pelik, dan tidak gampang dilakukan dalam dunia kontemporer. Pernikahan yang dijalani dapat saja menjadi lembaga yang sakral, namun pengkhianatan terhadapnya sangat terbuka lebar. Tinggal bagaimana seorang individu memahami secara benar hakikat pernikahan, dan konsisten dengan janjinya untuk selalu setia pada psangannya.***

sumber :www.ulas-buku.blogspot.com